Alur hidup
Mertayani bisa dikatakan hampir mirip Anne Frank. Sama-sama hidup dalam
tekanan, tapi penuh harapan dan cita-cita. Dan, ternyata Mertayani pun
mengagumi Anne Frank setelah membaca bukunya yang sesungguhnya sebuah diary.
Ada kemiripan hidup antara Mertayani dan Anne
Frank. Sama-sama ditekan dalam sebuah kondisi yang begitu menyulitkan. Bedanya,
Anne yang keturunan Yahudi besar di bawah tekanan tentara Nazi pada masa itu,
sementara Mertayani besar di bawah tekanan ekonomi.
Kondisi ekonomi yang sangat sulit memaksa Mertayani
harus dewasa di usianya yang masih 14 tahun. Sehari-harinya, Mertayani membantu
ibunya berjualan asongan di pinggir pantai selain menjalani tugas belajar
sebagai siswi di SMPN 2 Abang. Kadangkala, dia ikut mencari barang rongsokan di
tepi pantai.
Mertayani merupakan putri sulung almarhum I Nengah
Sangkrib dan Ni Nengah Sirem. Sejak ayahnya meninggal, Mertayani tinggal
bersama ibunya Ni Nengah Sirem dan adiknya Ni Made Jati. Sejak itu pula, tiga
wanita ini berjuang untuk melanjutkan hidupnya dari hari ke hari dengan
berjualan atau mencari barang rongsokan.
Mertayani sendiri mengaku kagum dengan sosok Anne
Frank. Sosok belia ini penuh dengan harapan dan cita-cita meski kenyataannya
hidup dibawah tekanan. “Saya mulai mengaguminya (Anne Frank,Red) sejak membaca
buku-bukunya,” kata Mertayani.
Pernah sekali waktu, saat dirinya mencari
rongsokan, Sirem dikerjai. Ceritanya, saat itu dirinya sedang sibuk mencari
barang rongsokan di tepi pantai. Kemudian, ada seseorang mengatakan bahwa ada
tempat yang banyak terdapat barang rongsokannya. Mendengar itu, Sirem langsung
bergegas ke tempat tersebut. Tak dinyana, sesampainya di sana bukannya barang
rongsokan yang ditemuinya, melainkan bangkai anjing. “Saya cuma bisa bersabar
saja,” kata Sirem saat mendampingi Mertayani.
Dengan prestasi yang diperoleh Mertayani, Sirem
kini tambah semangat. Apa yang dia yakini dan lakukan selama ini ternyata tidak
sia-sia. Dia pun berharap, anaknya itu bisa mewujudkan apa yang menjadi
cita-citanya.
Dengan langkah
malu-malu, Ni Wayan Merta-yani, 14 tahun, menemui sejumlah wartawan di Radio
Netherlands Training Centre di Hilversum, Belanda, Kamis pekan lalu. Dia hanya
mengenakan jumper- jaket tipis bertutup kepala-berwarna abu-abu, kaus oblong,
dan sepatu kets. Matanya langsung berbinar melihat para kuli tinta
menyingkirkan udara dan angin dingin yang berembus kencang menggigit kulit.
Maklum, Wayan amat terobsesi menjadi wartawati.
Buku The Diary of Anne Frank, tentang Annelies
Marie FVank alias Anne Frank, menginspirasinya untuk rae-matri cita-cita
terse-but Dolly Amarhosoija, tuns asal Belanda. adalah orang yang
memperkenalkan gadis asal Ban-iar Biasiantang, Desa Purwakerti. Kecamatan
Abang. Karangasem, itu dengan sosok Anne yang menjadi korban Holocaust di
Amsterdam, Belanda.
Tak cuma buku, Wayan juga meminjam kamera foto
milik Dolly. Dia membuat 15 foto dengan kamera itu. Jepretan terakhirnya adalah
sebuah potret pohon ubi karet denganda -han tanpa daun yang tumbuh di depan
rumahnya. Seekor ayam bertengger di salah satu dahan, serta handuk berwarna
merah jambu dan baju keseharian yang dijemur di bawahnya.
Tak dinyana, foto sederhana itu memikat 12
fotografer kelas dunia dari World Press Photo yang menjadi juri lomba foto
internasional 2009, yang digelar Yayasan Anne Frank di Belanda. Tema lomba yang
yang diikuti 200 peserta itu adalah “Apa Harapan Ter-besarmu?” Wayan
menjelaskan, ayam itu simbolisasi diri dan kehidupannya. “Ayam itu kalau panas
kepanasan, hujan kehu-janan. Sama seperti saya,” ujarnya.
Sulung dari dua bersaudara ini memang berasal dari
keluarga miskin. Ibunya, I Nengah Kirem, 52 tahun, sudah bertahun menderita
ginjal dan ha-rus bekerja serabutan. Ayah Wayan telah meninggal. Mereka tinggal
di gubuk berdinding bilik bambu dengan satu kamar tidur.
Untuk menopang kehidupan, tiap sore hingga gelap
menyergap, pelajar kelas HI SMP Negeri 2 Abang, Karangasem, itu berjualan kue
jajanan di Pantai Kadang. Jika dagangannya laku, dia bisa memperoleh pendapatan
hingga Rp 50 ribu. Tapi lebih sering dia rugi karena banyak yang tidak bayar.
“Atau kalau tak habis saya makan sendiri, jadi ya rugi,” ujar Wayan tersipu. (Nur Fitriyana)
0 komentar:
Posting Komentar