Sabtu, 12 Februari 2011

Ada Apa Dengan Gamal?

Gubraaaaaaaaaaaaaaak!
“Hah? Kenapa ni kenapa?!” Aku tersentak terbentur lantai yang keras.
“Lin, Liliiiiiin! Jemputanmu sepuluh menit lagi dateng!” teriak Ibu dari dapur.
“Hah iya buuuuuuu” jawabku sambil cepat mengambil handuk yang kebetulan tergeletak di meja rias setelah semalam mandi.
Sepuluh menit kemudian mobil jemputanku tiba. Untung aku telah memakai seragam, jadi aku hanya tinggal memasukkan buku-buku dan berangkat. Aku telah handal dalam keterburu-buruan seperti ini, jadi yaa biasa saja meskipun angka sudah menunjukkan setengah tujuh lewat sepuluh, karena aku yakin, Pak Mono pasti bakalan extra ngebuuuuut.
“Bu Mirnaaaaaaaaaaaaaa, Lilin mana? Nanti telat nih!” ocehan yang selalu keluar dari mulut Pak Mono. Ga kreatif!
“Iya Pak bentar lagi pake sepatu!” jawab Ibuku berbohong karena takut Pak Mono semakin mengoceh.
Selama perjalanan menuju sekolah, Pak Mono mengendarai mobilnya dengan sangat ngebut. Seperti supir bus atau angkot yang gak ingin ketinggalan penumpang. Jarak dari rumahku ke sekolah yang ditempuh 30 menit dengan mengendarai mobil, bisa menjadi 15 menit ketika Pak Mono yang sedang menyetir. Sungguh fantastic! Karena kita semua ̶yang naik jemputan Pak Mono̶ terlihat berantakan, teman-teman satu sekolah pun tau, pasti kita ini anak jemputannya Pak Mono.
Suara sepatu high heels Bu Tami telah terdengar. Kalau sudah seperti itu, tandanya Bu Tami sudah sampai di koridor kelas sebelah. Bu Tami terkenal guru yang paling dalem. Omongannya kena banget deh pokonya. Nonjok banget deh. Guru-guru aja juga bilang gitu ko. Tapi, murid-murid yang diajar sama dia pasti hasilnya memuaskan. Ini membuktikan kalau Bu Tami punya metode mengajar yang baik, yaaaa meskipun agak galak sedikit.
“Pagi anak-anak!” sapa Bu Tami dengan bunyi high heels sebagai backsoundnya.
“Pagi buuuuuuuuu!” jawab anak-anak serempak.
“Hari ini saya punya tugas untuk kalian semua,” hening, seolah-olah Bu Tami adalah pemimpin perang. “Semua anak perempuan berdiri. Dan silahkan ambil satu kertas dari meja saya.”
Beberapa menit kemudian kelas menjadi ramai karena tulisan yang mereka dapatkan dari dalam kertas itu. Aku pun terkejut saat di dalam kertasku tertuliskan…
“Lin, lo dapet siapa?” tanya Kiran yang mengagetkanku karna dari tadi aku hanya terdiam.
“Gamal” jawabku singkat dan dengan ekspresi yang datar.
“GAMAL?!” dengan ekspresinya yang kaget, “sabar ya Lin..”
“TIDAK PAKAI RIBUT BISA KAN!” bentak Bu Tami sambil memukul papan tulis dengan penggaris kayu, “Kalian itu sudah dewasa. Cukup tangan dan kaki yang bekerja, tapi mulut tidak usah!” ceramahnya. “Baik, saya akan jelaskan aturan mainnya. Jadi, silahkan bekerja sama selama satu bulan ini dengan partner kalian karena saya akan memberikan tugas. Buat 2 karya ilmiah dengan partner kalian dalam waktu 1 bulan. Ini sebagai tugas akhir kalian di semester 1. Paham?”
“Paham Bu..” jawab anak-anak serempak.
Hal yang sangat tak kuduga ketika aku harus menjadi partner Gamal. Gamal yang semua orang tau kalo dia itu orang paling dingin, cuek, dan pendiem. Selama ini pun aku ga pernah ngobrol sama Gamal. Gimana kalo nanti dia jadi partner aku? Bisa-bisa tugas akhir ini aku semua yang ngerjain, dia cuma bengong-bengong aja.
“Alindia,” sahut Bu Tami yang membuatku kaget. “Kenapa kamu masih berdiri disana? Siapa partnermu?”
“Gamal Bu.” jawabku singkat.
“Ya sudah, gabung dengan Gamal dan diskusikan apa yang akan kalian buat karya ilmiah.” perintah Bu Tami.
Aku bergegas menghampiri Gamal yang duduk di bangku kedua dari belakang dengan headset yang menghiasi telinganya. Aku gugup, harus dari mana aku memulai pembicaraan ini. Aku bingung, apa yang harus aku bicarakan pada Gamal. Apa pake basa-basi dulu biar terlihat akrab? Tapi nanti dikira sok kenal lagi. Tapi masa ga pake basa-basi? Ga enak banget, kenal juga engga kan. Aduh, ya udah deh ngomong aja langsung, bodo amat.
“Kita mo bikin apa ni Mal?” tanyaku memberanikan diri.
“Apaan?” jawab Gamal seperti tak tahu apapun.
“Itu, karya ilmiah. Emang ga denger dari tadi Bu Tami ngejelasin?”
“Engga.” jawabnya singkat dan langsung memasang kembali headsetnya.
Ya ampun, ga peduli banget sih tu si Gamal?! Jangan-jangan bener lagi dugaanku kalo nanti yang bakal ngerjain tugas akhir ini aku semua. Ya ampun, trus nanti Gamal ngerjain apa? Dia cuma mau nilainya doang gitu? Ga boleh sampe kejadian tuh! Aku harus bergerak! Istirahat nanti, aku harus bicara sama Gamal dan ngebuat keputusan bersama.

Istirahat, aku menemui Gamal, tapi ternyata setelah aku pergi ke mejanya, Gamal sudah pergi duluan, mungkin ke kantin. Aku harus menyusulnya. Nah, itu dia Gamal sedang asik bersama PSPnya sambil menunggu pesanannya. Aku harus kesana.
“Gamal.” sahutku yang ternyata berbarengan dengan Natasya. Kami yang menyadari hal itu langsung bertatapan, dan Gamal aneh melihat aku dengan Natasya memanggilnya berbarengan. Aku malu dengan Gamal, dan juga Natasya.
“Kenapa?” tanya Gamal cuek dan cukup datar.
“Ah? Emm, duluan ya, kebelet pipis nih..” jawabku sambil berlari keluar dari kantin. Sebenarnya, aku berbohong. Entah kenapa, aku sangat grogi dan malu. Aku melihat Gamal dari jauh, dan tampaknya dia masih menoleh ke arahku dan memperhatikan langkahku. Setelah kejadian di kantin itu, aku langsung menuju kelas dan mengobrol bersama Kiran.
“Eh,” tiba-tiba, suara berat mengejutkanku dari belakang. Entah siapa, tapi ternyata dia adalah…
“Gamal?” kataku terkejut, “Ngapain?”
“Tadi di kantin kenapa?” tanyanya lumayan panjang dari biasanya.
“Gini, sebenernya tadi gue mau ngomong sama lo, tapi tadi barengan sama Natasya manggilnya. Berhubung gue ga enak sama Natasya, akhirnya tadi gue boong, dan bilang kalo gue kebelet pipis. Abisnya gue takut…”
“Intinya?” tanya Gamal yang memotong pembicaraanku.
“Oh iya hehe. Karya ilmiah kita, Mal.” kataku agak terbata-bata dengan intonasi yang semakin menurun. Gamal hanya diam saja memandangku dengan tatapan seolah-olah aku adalah orang yang aneh. “Oh oke oke. Kalo emang lagi males, mungkin gue bisa minta nomor telfon lo?” lanjutku dengan segera agar pembicaraan ini nggak garing. Tapi Gamal juga sekarang hanya diam dan terus menatapku dengan tatapan aneh. “Oh, emm, atau sekarang lo maunya apa? Gue ngikut aja deh beneran..” kataku pasrah.

Gamal pergi meninggalkanku begitu saja. BAYANGKAN? PERGI?! Dimana sih sopan santunnya? Diajak ngomong malah ditinggal pergi gitu aja. Udah ngomong cuma seperlunya aja, ngeliatin aku kaya gitu banget lagi, trus pake ditinggalin segala! Ampun deeeeh, makan ati banget ni kayanya selama satu bulan ini. Yaudahlah, mungkin emang orangnya kaya gitu.
Ringtone HP-ku berbunyi. Entah siapa yang menelfon malam-malam begini. Firasatku sih, agak ngga enak gitu. Siapa ya?
“Halo?” kataku membuka pembicaraan.
“Gue punya usul, ngebuat aliran listrik dari lemon.” kata orang tersebut to the point.
“Ini siapa? Gamal? Ko bisa sih nelfon gue? Ya ampun, gue kira tuh lo ga peduli banget sama karya ilmiah kita. Ternyata lo peduli juga ya hehe. Lo tau nomor...”
“Pulsa gue sekarat.” katanya memotong pembicaraanku.
Tuut tuut tuut..
Telepon pun terputus. Lagi-lagi dia selalu menghentikan pembicaraan sebelum aku selesai bicara. Ya ampun, Gamal memang orang yang sangat aneh. Ko bisa sih ada orang yang kaya Gamal? Udah orangnya misterius, aneh, dan yang paling penting, dia selalu penuh kejutan. Tapi idenya itu keren juga. Searching di google dulu aja deh.

Teng.. Teng.. Teng..
Istirahat tiba. Anak-anak yang lain suah punya ide tentang apa yang akan mereka buat karya ilmiah. Sedangkan aku? Sama partner sendiri aja ga akur. Ku lihat Gamal sedang duduk sambil asik menggambar sesuatu, entah apa itu. Aku harus bicara padanya. Kalo ga sekarang, kapan lagi?
“Gamal,” sahutku yang mungkin mengagetkannya, dan dia langsung menutup bukunya seperti orang ketakutan jika ada yang melihatnya. “Karya ilmiah ki..”
Belum aku selesai berbicara, Natasya datang menghampiri Gamal. Dan aku hanya terdiam dan berdiri di bibir meja kanan Gamal. Natasya tampaknya tidak ingin jika aku mengganggu dia dengan Gamal.
“Kamu udah makan Gamal?” tanya Natasya dengan penuh perhatian dan harap.
“Udah.” jawab Gamal singkat dengan sangat dingin.
“Temenin aku makan yuk ke kantin, please. Aku belum makan. Kamu gak mau kan kalo aku sakit? Nanti kalo aku sakit, gimana? Apa kamu tega sama aku? Apalagi kan aku perempuan Gamal..” pinta Natasya dengan muka memelas, dan pastinya lebay banget.
Gamal tidak merespon perkataan Natasya sedikit pun. Ia akhirnya pergi dari kelas sambil membawa headset beserta PSPnya. Ya ampun, Natasya yang cantik, banyak cowo-cowo yang suka aja sampe dicuekin sama Gamal. Itu pun mereka dulunya temen SMP. Gimana aku? Aku kan baru kenal sama Gamal, bahkan aku belum pernah ngomong sama Gamal sama sekali. Apa jadinya nanti? Pasti bakal dibuang jauh-jauh banget ya sama Gamal. Aduh, gimana ni karya ilmiah???
“Gamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaal!!!!!!!!!!!!” teriak Natasya yang membuat satu kelas tertuju padanya dengan penuh keheranan. Aku yang mendengar teriakan Natasya langsung pergi dari hadapannya dan kembali ke mejaku sebelum Natasya mengamuk.
Ya udahlah. Mungkin emang kali ini aku sangat bernasib sial sampai-sampai aku sepertinya memang harus mengerjakan karya ilmiah ini SENDIRIAN. Tega banget sih tu Gamal. Untung aja aku ga kenal sama tu orang, kalo kenal pasti udah aku marah-marahin. Ikhlas aja deh Ya Allah. Semangat Lin, kamu pasti bisa. Yeah :D

Hari ini aku bangun lebih pagi. Entah apa yang membuatku bangun lebih awal.
“Bu, Lilin berangkat ya, Pak Mono udah jemput!” pamitku pada Ibu yang sedang sibuk di dapur.
“Iya Lin hati-hati!”
Istirahat pun tiba. Hari ini entah kenapa baru istirahat pertama saja aku sudah merasa sangat lapar sekali. Aku dan Kiran bergegas pergi ke kantin, takut nanti mejanya penuh. Yap, ternyata dugaanku benar. Mejanya penuh. Ada sih dua bangku yang kosong, tapi itu di sebelah Gamal. Kenapa mesti Gamal coba? Yaudah deh disana aja dari pada ga makan sama sekali. Gamal menatapku sekilas dan setelah tahu bahwa itu adalah aku yang akan duduk di sebelahnya, perhatiannya tertuju pada PSPnya lagi.
“Mas!” panggilku pada pelayan bakso. “Bakso sounnya dua ya.” lanjutku.
“Lin, gue ke toilet bentar ya, ada yang ga enak nih..” kata Karin agak berbisik.
Aku mengangguk, mengiyakan. Setelah itu, pesanan aku dan Karin telah datang. Tapi, ketika aku merogoh sakuku, tidak ada uang sepeser pun. Ya ampun, tadi pagi kan aku lupa minta uang sama Ibu. Aduh gimana ni? Masa bilang kalo ga bawa duit? Nanti dikira boong trus maunya makan gratis doang lagi. Aduh binguuuuuuuuuuuuung…
“De?” panggil pelayan bakso itu dengan muka gga enak karena aku terus berusaha merogoh kantongku sedalam-dalamnya, tapi tetap tidak ada yang aku dapat. “Saya ga akan ketipu de..”
“Mas, siapa yang mau boongin Mas lagi? Saya beneran lupa banget tadi pagi minta uang sama Ibu saya, dan saya baru inget sekarang kalo saya ga ada uang. Saya ben…” kataku membela diri.
Belum selesai aku bicara, Gamal mengeluarkan uangnya dengan sikap cuek, dan menurutku sok cool. “Ambil aja kembaliannya mas..” kata Gamal yang menurutku itu sangat sok!
“Bukannya gitu Mas, tapi ini aja uangnya kurang.” kata pelayan bakso itu dan hal itu membuat aku sangat tak bisa menahan ketawa. Gamal langsung mengeluarkan satu lembar lima puluh ribu kepada pelayan tersebut dan langsung meninggalkan kantin dengan sangat cuek, dan dingin.

Tak terasa, waktu dimana mengumpulkan tugas karya ilmiah adalah besok. Cepat sekali. Dan aku baru sadar bahwa selama mengerjakan tugas karya ilmiah, itu aku semua yang ngerjain, ak ada campur tangan Gamal sedikit pun. Huh! Tu kan, berarti itu ngebuktiin kalo ternyata si Gamal emang beneran gak peduli banget sama apa pun! Eh peduli sih, cuma nyumbang ide satu karya imiah doang. Itu pun dia ga bantuin ngelakuin percobaannya. Udah ah, jadi gondok sendiri gini kan kalo ngomongin Gamal.
Di sekolah, aku melihat semua teman-temanku sedang repot mengurusi tugas karya ilmiahnya. Tapi repotnya mereka ngebuat aku iri, aku juga ingin memiliki hal yang membuat aku untuk ga bisa dilupain, karna aku dan partnerku bekerja satu bulan full bersama. Aku hanya bisa membayangkannya saja.
“Lin,” sahut Kiran yang membangunkanku dari khayalanku. “Karya ilmiah lo udah selesai?”
“Tinggal diprint aja ko Ran. Lo?”
“Sama ko Lin. Oh iya, gimana Gamal? Orangnya asik ga? Kayanya cewe-cewe lenjeh di kelas kita pada pengen banget loh jadi partnernya Gamal.”
“Kalo boleh milih, gue mending milih sama si Dudung sekalian deh dari pada sama Gamal.”
“Dudung? Yang suka ngegodain cewe mulu tapi ga pernah sadar diri itu? Ko lo ngomong gitu Lin? Emang Gamal kenapa? Parah banget kah?”
“Ya menurut lo, kalo dia selama ini cuma nyumbang satu ide doang, dan itu pun dia ga ngelakuin percobaannya, dan karya ilmiah yang kedua gue semua yang ngerjain, itu gimana? Itu parah banget kan Ran?” kataku mulai emosi.
“Ya ampun Lin, lo serius? Masa sih Gamal gitu? Gue kira ya orangnya pendiem emang beneran pendiem yang emas. Tapi ternyata malah masa bodo gitu,” kata Kiran yang tidak menyangka bahwa Gamal seperti itu. Tapi aku hanya terdiam, dan malah mengasihani diriku sendiri. “Ikhlas aja Lin, semoga lo bisa lebih sabar lagi dalam ngehadepin banyak orang yang punya karakter masing-masing.”
Sore ini hujan turun deras sekali. Sampai aku tak bisa kalau harus pulang naik bis. Akhirnya, aku memutuskan untuk minta jemput Ayah. Dan pastinya, Ayahku yang baik hati gak akan tega melihat anaknya basah kuyup hehe.
“Lin, Ayah besok harus ke Surabaya,” kata Ayah sambil tetap fokus menyetir. “Cabang dari perusahaan Ayah sudah jadi, dan besok diresmikan. Ayah ditunjuk sama Bos Ayah untuk mewakilinya karena beliau berhalangan.”
Aku terbangun. 06.30. Ya ampun! Aku belum ngeprint karya ilmiah. Aku juga belum mandi. Aku juga belum nyiapin buku. Bunyi apa tuh? Ya ampun, gelap banget, hujan gede juga lagi. Aku bergegas menyalakan komputer di rumah, dan setelah itu aku bergegas mandi. Tiba-tiba ringtone HP-ku berbunyi. Ada pesan dari Pak Mono. Dan dia bilang bahwa dia lagi sakit, dan gak bisa nganterin kita. Ya ampuuun! Hujannya gede banget lagi. Ayah juga ngga ada lagi. Gimana iniiiii??
“Bu, Lilin gimana?” tanyaku pada Ibu yang sedang menyapu lantai.
“Lilin sudah dewasa.” jawab Ibu singkat, namun itu menyadarkanku bahwa aku harus berfikir dewasa dari mulai hal yang sepele sekali pun.
“Bu, Lilin berangkat ya.” pamitku sambil mencium kedua pipi Ibuku.
Aku berangkat naik ojek untuk sampai ke depan dan naik abis. Karena hujan yang sangat deras, aku pun sudah ¾ basah kuyup. Itu pun aku pakai jaket dan sangat menggigil. Dan karya ilmiahku aku simpan dibalik jaketku, karena takut rusak atau lecek. Setelah itu aku langsung naik bus dan di dalam bus aku harus berdiri karena bis sudah penuh. Ya ampun, angka sudah menunjukkan pukul 06.55, dan disini macet. Ya ampun! Padahal hanya tinggal 500 meter saja, tapi di luar hujan turus deras sekali. Tapi dari pada karya ilmiahku tidak dapat nilai, lebih baik aku nekat saja turun dari bis.
Aku memperkuat kaki dan langkahku. Meskipun aku belum makan, aku pasti masih memiliki tenaga kuda untuk berlari hehe. Aku berlari secepat mungkin, dan sampai-sampai aku tidak melihat ada kubangan yang berisi air, dan aku menginjakkan kakiku kesana. Alhasil, aku terkena air cipratan yang kotor itu, dan nyaris terjatuh. Haduh, gerbang sekolah sudah di depan mata, tapi sudah tertutup. Aku melihat jam tanganku, dan sekarang baru pukul 07.10.
“Pak, bukain pintunya ya, tadi macet banget, saya aja lari-lari dari depan lampu merah. Saya kan juga baru telat sepuluh menit.” kataku memelas.
“Siapa suruh berangkatnya ga pagi-pagi, udah tau ujan.” Kata satpam sekolah yang membuatku sebel dengan pernyataannya.
“Pak, ayolah. Saya ada tugas karya ilmiah yang harus saya kumpulin hari ini. Ini tugasnya Bu Tami. Kalo saya nggak ngumpulin, saya bilang aja, saya ga boleh maasuk sama Bapa, padahal kan saya masih ada pada batas toleransi telat.” Kataku sedikit mengancam dan agak ngocol.
Setelah di sekolah, aku baru sadar, bahwa karya ilmiahku telah basah, luntur dan nyaris tak terbaca. Untung saja Bu Tami belum dateng, mungkin aku bisa ngeprint lagi di warnet sekolah. Ya Tuhan, aku lupa bawa flashdisk! Aduh gimana ini ya ampun? Aku hanya bisa menangis meratapi semuanya yang telah menimpaku. Tak lama, Bu Tami datang.
“Baiklah, kumpulkan karya ilmiah kalian sekarang!” perintah Bu Tami dengan ingatannya yang tajam akan karya ilmiah.
“Ibu sudah menerima semua karya ilmiah kalian. Dan ada satu karya ilmiah yang membuat Ibu sangat suka sekali, karena bagus sekali hasilnya. Dan mereka terlihat sangat kompak sekali, itu terlihat pada hasil karya ilmiah yang telah mereka buat.” kata Bu Tami membangga-banggakan mereka.
“Siapa Bu?” tanya anak-anak penasaran.
“Gamal dan Alindia,” kata Bu Tami. Dan itu mengagetkanku karna aku masih terus menangis. “Silahkan maju ke depan.” perintah Bu Tami.
Aku sangat bingung saat itu dan masih menangis. Namun Gamal sudah berjalan ke depan untuk menghormati Bu Tami. Akhirnya, aku dengan ketidaktahuan ini maju saja ke depan kelas sambil sesekali menunduk, takut terlihat mataku merah karena menangis.
“Berikan uplause pada Gamal dan Alindia.” perintah Bu Tami. Dan satu kelas bertepuk tangan untukku dan Gamal.
Ketika istirahat, mukaku masih terlihat memerah. Dan aku masih menggigil kedinginan. Jaketku sudah basah semua, dan rambutku pun basah seperti habis keramas. Aku tetap di mejaku karena aku ingin menghangatkan tubuh saja. Tiba-tiba dari sebelah kiriku ada yang memberikan jaket padaku. Dan ternyata…
“Gamal?” tanyaku agak heran, karena dia memberikan jaket padaku. “Yang ngumpulin kar..”
Gamal langsung pergi meninggalkanku sambil membetulkan headsetnya. Ya ampun lagi-lagi dia mengulangi perbuatannya ke aku. Tapi aku masih bingung sama tugasku. Nanya sama Bu Tami aja deh.
“Bu, yang ngumpulin tugas saya Gamal kan? Kapan?” tanyaku memberanikan diri.
“Iya. Kemarin sore nak, ada apa?”
“Oh nggak apa-apa Bu.” jawabku dan langsung keluar dari ruang guru.
Ya ampun, ternyata persepsi aku selama ini tentang Gamal sangat salah. Aku tau sekarang, Gamal bukan tipe orang yang banyak omong. Dia itu bener-bener diem yang emas. Salut banget deh buat Gamal. Dan mulai sekarang aku ga akan nilai orang dari kulitnya.

Wisny Ima Prasetyo
XI IPA 1

0 komentar: