Jumat, 25 Maret 2011

SPP naik, Wali murid merasa di bohongi

JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara, sekarang jauh dan terlalu mahal untuk dapat diakses oleh rakyat. Jika ingin mendapatkan kualitas yang baik, masyarakat harus membayar mahal.

Lembaga pendidikan sudah menjadi ajang bisnis oleh pemilik modal dengan memasang tarif sekolah yang sangat tinggi. Bukan hanya soal biaya pendidikan yang sangat mahal, tetapi lembaga pendidikan juga dinilai oleh orang tua wali melakukan tindakan tidak transparan.

Demikian diungkapkan Kelompok Perempuan Peduli Pendidikan Anak (KP3A), yang terdiri dari semua para orang tua wali yang anaknya menempuh pendidikan di Sekolah Pahoa, Gading Serpong, Kota Tangerang, pascaaksi damai, Selasa (22/3/2011) lalu, sebagai bentuk protes mereka atas kebijakan yayasan tersebut yang sangat tidak adil.

Pengakuan beberapa orang tua wali siswa, beberapa tahun lalu mereka menyatakan tertarik akan tawaran Sekolah Pahoa di daerah Gading Serpong. Salah satu tawarannya adalah sebagai sekolah rakyat yang berbasis tiga bahasa yang murah.

Namun, seiring berjalannya waktu, timbul beberapa masalah. Salah satunya adalah janji bahwa kenaikan uang sekolah tidak melebihi 10 persen setiap tahunnya. Kenyataannya, secara berturut-turut pada tahun ajaran berikutnya ada kenaikan 23 persen, 12 persen, dan yang terakhir akan diberlakukan kenaikan sebesar 38 persen.

Saat ini, para orang tua murid mengaku, biaya untuk tingkat sekolah dasar (SD) mencapai Rp 650.000 per bulan. Tahun depan diperkirakan naik menjadi Rp 900.000 per bulan.

"Kenaikan yang sangat tinggi ini sangat memberatkan orang tua siswa dan tidak sesuai dengan janji awal yang diberikan oleh pihak yayasan," ujar Debby saat dihubungi Kompas.com, Jumat (25/3/2011).

Selain itu, uang kegiatan yang ditagihkan pada orang tua murid tidak disertai dengan penjelasan detail terkait rencana penggunaannya. Padahal, hal itu merupakan sesuatu yang biasanya dilakukan oleh lembaga pendidikan setaraf lainnya. Kenaikan uang kegiatan untuk SMP juga dinilai luar biasa besar, yaitu sampai 60 persen, sedangkan untuk TK mencapai 125 persen.

"Akhirnya kami para orangtua mengajukan surat keberatan secara kolektif dan ditujukan ke yayasan untuk dapat mengundang kami untuk berdialog," ujarnya.

Pada 11 Maret 2011 rencana dialog akan digelar. Namun, pihak yayasan tidak memberikan tanggapan sehingga membuat orangtua resah mengingat batas waktu pembayaran adalah 31 Maret 2011. Karena surat tidak ditanggapi, para orang tua wali tersebut mencoba bertemu pihak yayasan pada Rabu (16/3/2011). Tetapi, pihak yayasan tidak mau menemui para orang tua.

Setelah bernegosiasi, akhirnya disepakati adanya pertemuan pada Selasa (22/3/2011). Kemudian, pada 17 Maret 2011, ada pemberitahuan dari pihak sekolah tentang rencana pertemuan dengan pihak yayasan bagi para orang tua yang berkeberatan, pada Sabtu 19 Maret 2011.

Namun, ketika para orang tua datang pada pertemuan pada Sabtu (19/3/2011), ternyata sudah ada banyak petugas polisi dan TNI di sekolah sehingga membuat orang tua menjadi merasa tidak nyaman dan tertekan.

"Pada akhirnya kami orang tua tetap akan datang hingga akhirnya melaksanakan aksi unjuk rasa secara damai di sekolah," ucapnya.

"Kita masih tunggu keputusan sampai Senin (28/3/2011). Sebetulnya yayasan punya niat murni mendirikan sekolah yang non-cost oriented. Tapi, karena di tengah jalan animonya besar sekali, mereka melihat ini sebagai peluang bisnis sehingga visi-misinya berubah. Tadinya uang sekolahnya murah, sampai akhirnya mereka berdalih salah hitung. Ya, kami merasa dibohongi," kata Debby.

sumber:kompas.com

oleh:fitri andani

0 komentar: