Senin, 16 Agustus 2010

FANATISME

Pengertian Fanatik
Fanatik adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positip atau yang negatip, pandangan mana tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah diluruskan atau diubah. Fanatisme biasanya tidak rationil, oleh karena itu argumen rationilpun susah digunakan untuk meluruskannya.

Wahai sekalian manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan kami menjadikan kamu berkabilah dan bersuku-suku supaya kalian dapat saling mengenal... salah satu ayat Al-Qur’an yang berimplikasi menafikan primordialisme dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Pesan ini telah disampaikan oleh baginda Rasul beberapa abad silam, dan telah dihafal dan difahami oleh masyarakat Islam diseantero dunia. Sebuah pesan ilahy yang menghendaki adanya sinkronisasi dan kebersamaan dalam setiap lapisan masyarakat. Ayat tuhan yang mengajarkan kita tentang kemutlakan akan adanya perbedaan namun perbedaan itu tak harus menjadi racun yang mengoyak tatanan dan kekokohan sebuah masyarakat.

Islam adalah agama yang penuh kedamaian. Islam tidak mengenal fanatisme. Apalagi fanatisme yang akan merongrong dan sebuah komunitas sosial. Sejak awal Islam telah menekan laju fanatisme dan berusaha untuk menghapuskan slogan ta’asshub. Sebab, jika fanatisme golongan jika dibiarkan subur akan membawa masyarakat keseuatu
chaos yang tak bertepi.

Namun sejarah telah menorehkan, kelam fanatisme telah mengoyak ukhuwah islamiyah, fanatisme telah menghancurkan sebuah quwwah imaniyah yang telah dibangun oleh baginda Rasul, fanatisme juga merupakan pemantik dari penafsiran-penafsiran liar tehadap nash syar’i, baik dari Al-Qur’an ataupun dari hadis. Ironisnya, perkataan yang tidak benar, bahkan sangat tidak layak intuk disandarkan kepada Rasulullah harus disandarkan kepada beliau, hadist-hadist palsu ini kita kenal dalam dunia akademis kita sebagi hadist maudhu’.

Fanatisme yang diajarkan Islam adalah fanatisme yang berprinsip kebenaran hanya milik Allah. Fanatisme adalah pemikiran seseorang atau kelompok yang menyatakan bahwa kebenaran adalah mutlak pada apa yang dianutnya. Fanatisme adalah penting dan merupakan kewajiban bagi setiap pemeluk agama Islam. Namun fanatisme itu bukanlah fanatisme yang mengajarkan permusuhan kepada pemeluk agama lain tanpa ‘ba-bi-bu’, fanatisme yang salah adalah fanatisme yang dinyatakan dalam bentuk pembunuhan dan penganiayaan, mengatasnamakan JIHAD, hanya beralasan pada ‘perbedaan’. Sungguh, fanatisme yang semacam itu telah keluar dari sunnah. Peperangan (baca : pembunuhan), ada aturan khususnya, dan perlu kajian khusus tentang hal ini. Bukan sembarang wae… Setiap muslim tidak berhak membunuh pemeluk agama lain secara ‘sembarang’ tanpa aturan khsusus, meskipun sehebat apapun permusuhannya, Ia bertindak terhadap kita. Rasulullah mengajarkan hal yang demikian, sabar adalah kunci utama kecuali ada ketentuan syar’i yang jelas yang menggariskan hasus adanya peperangan, dan inipun tidak sembarangan.

Fanatisme muslim dalam beragama adalah sangat lembut, selembut dan sedamai Islam itu sendiri. Fanatisme berbanding lurus dengan iman, semakin kuat iman seseorang maka akan semakin kuat pula fanatismenya terhadap agama-Nya.

Tarbiyah mengajarkan kita berkembang dari fanatisme yang lemah menuju fanatisme yang lebih luas dan kuat. Dengan kata lain, tarbiyah juga menumbuhkembangkan proses keberimanan kita terhadap Allah dan ketentuan-Nya. Tarbiyah memperkuat kepercayaan diri kita dalam menjalani proses kehidupan karena tarbiyah adalah jalan utama menuju kedekatan dengan Rabb.

Sebenarnya Negara kita sangat membutuhkan orang yang sangat fanatik dengan benar kepada agamanya (terutama Islam) untuk menyembuhkan Negara ini dari penyakit korupsi. Dapatkah kita bayangkan jika pejabat-pejabat pemerintah termasuk pemerintah fanatik pada agamanya (Islam), yang terjadi adalah mereka akan takut berbuat salah seperti korupsi dan lain-lain yang merugikan negara karena mereka sangat yakin akan balasan dari Tuhan. Jika seseorang fanatik terhadap sesuatu maka ia cenderung mengikuti dan menaati apa yang difanatikannya itu. Seorang yang fanatik terhadap agamanya (Islam), ia tak akan mau menerima uang sogok atau uang yang tidak jelas dan ia tiadak mau nenuruti pimpinan yang korup.

Kebanyakan orang salah mengartikan fanatik dengan saklek/kaku dan pemahaman yang sepotong-sepotong. SEJATINYA semua agama mengharamkan kekerasan karena sejajar dengan tujuan ideal kemanusiaan yang menghendaki kedamaian. Budha mengajarkan kesederhanaan. Konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih begitupun Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Dalam konteks sekarang, bentuk-bentuk konflik dan kekerasan agama biasanya dihubungkan dengan bangkitnya sikap fanatisme agama. Fanatisme agama mengekspresikan cita-cita sosial-politiknya dalam bentuk ekstrimisme dan kekerasan sebagai reaksi terhadap kondisi kehidupan manusia yang dianggapnya tidak ideal.
Fanatisme identik dengan kekerasan. Inilah stereotip yang dibangun melalui opini Barat selama berabad-abad. Ironisnya, media Barat sering memberi kesan bahwa fanatisme keagamaan yang diwarnai sikap kekerasan hanya dimiliki pada sejarah Islam. Usaha media Barat, hingga hari ini, masih saja bernafsu menggiring opini dunia bahwa Islam ialah agama teroris dan menghalalkan kekerasan dalam misi penyebaran agama. “Islam Fundamentalis” yang mewakili sikap fanatisme keagamaan dianggap bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan global seperti tindakan kekerasan, teror bom bunuh diri, pembantaian bahkan pembunuhan. Peristiwa yang dianggap begitu menyudutkan Islam, ialah tragedi kemanusiaan WTC, Newyork, AS dan bom yang meledak di Legian Bali beberapa waktu setelahnya. Sampai-sampai polling di CNN, 13 Juni 2002, menunjukkan hasil yang mencengangkan. Suara terbanyak menginginkan perubahan paradigma dari war against terrorism menjadi war against Islamism.

Kesan menyudutkan umat Islam ini jelas salah besar. Sikap fanatisme hampir dimiliki semua agama. Semua orang religius berusaha mereformasi tradisi yang mereka miliki dan memadukannya dengan budaya moderen, seperti dilakukan pembaharu muslim. Ketika cara-cara moderat dianggap tidak banyak membantu, beberapa orang menggunakan metode yang lebih ektrim dan saat itu pulalah gerakan fanatisme keagamaan lahir.

Kemunculan ekspresi religiusitas yang eksklusif dan penolakan terhadap ajakan
berdialog secara anomalik tampil di tengah lingkungan kebebasan politik yang
tengah mendapatkan momentumnya. Titik cerah yang beberapa saat lalu muncul dalam bentuk seruan akan kesadaran pentingnya dialog antaragama dan pemahaman multikulturalitas terhadap berbagai perbedaan-yang disuarakan oleh berbagai komunitas masyarakat sipil dan kalangan agamawan-masih harus menghadapi awan gelap kebangkitan fanatisme religius.

Negara semestinya menjadi wasit yang netral dan adil dalam menjaga hak-hak asasi warganya (termasuk kebebasan beragama).Selain penyebaran dan sosialisasi nilai-nilai etis kemanusiaan secara kultural ada jalan lain yang penting untuk difikirkan bersama. Pertama adalah bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai etis toleransi, penghargaan terhadap pluralisme ini bisa membumi dan dilindungi oleh hukum dan perangkatnya. Sehingga nilai-nilai etis-humanis tersebut dapat mewujud dalama tatanan sosial yang dilindungi negara secara adil. Apabila ada perusakan terhadap tempat-tempat ibadah misalnya maka sanksi dapat dikenakan kepada pelaku berbasis pada aturan hukum yang adil dan tidak memihak.

Kedua, selain sebagai wasit yang adil terhadap setiap konflik maupun bentuk kekerasan yang muncul, negara bersama-sama dengan kekuatan masyarakat sipil
juga harus bekerja keras untuk memperpendek jarak ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik dimasyarakat. Mengingat tak jarang konflik sosial yang memanfaatkan identitas keagamaan muncul sebagai akibat tidak terdistribusikannya sumber daya ekonomi, sosial dan politik secara adil dan ketimpangan tersebut diperparah dengan pembelahan berbasis agama.

Ketiga, dan juga yang terpenting kekuatan masyarakat sipil merupakan ujung tombak terpenting bagi pemulihan nilai-nilai etis kemanusiaan. Penghormatan terhadap setiap perbedaan dan toleransi terhadap keliyanan dapat diwujudkan baik melalui revitalisasi institusi kultural lama maupun interaksi dan dialog yang intens dalam setiap institusi-institusi sosial di tingkat warga, mulai dari pengajian warga, pertemuan balai desa, arisan warga sampai pada diskusi-diskusi intelektual yang melibatkan intelektual maupun tokoh keagamaan.

(OLEH LISSA AMALIA XI IPA 1)

0 komentar: