Sabtu, 28 Agustus 2010

makna

Memaknai Hidup

Oleh: Badruzzaman
Ada banyak cara yang dipertunjukkan manusia dalam memandang dan memaknai hidup ini.Sebagian dari mereka menganggap hidup ini akan bermakna jika ia bisa memberikan kenikmatan dan kenyamanan jasmani. Penganut hedonis ini akan terus mengupayakan bahwa pusat segala aktifitasnya akan bermuara pada kesenangan duniawi. Sebagai ilustrasi, mereka belajar dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, melamar pekerjaan, membangun tempat tinggal, membeli kendaraan, dan seterusnya, kesemuanya itu hanya untuk memperoleh kenyamanan fisik saja. Harta yang bertumpuk-tumpuk bagi kaum hedonisme merupakan tolok ukur apakah seseorang bisa bahagia atau tidak. Padahal keinginan manusia terhadap harta, tidaklah pernah berujung.
Kepercayaan kaum hedonis yang memosisikan capaian harta melimpah dan kenyamanan fisik sebagai kebermaknaan hidup, jelas bertentangan dengan agama. Kenyataan bahwa agama tidak melarang seorang muslim memiliki kecukupan materi yang proporsional agar keseimbangan hidup tetap terjaga, memang benar adanya. Tetapi alangkah ruginya, seseorang yang selama hidup hanya mendedikasikan diri kepada keinginan-keinginan untuk menumpuk-numpuk materi. Padahal kemampuan manusia untuk menikmati hidup amatlah terbatas. Contoh paling nyata yang sering kita jumpai adalah kenikmatan makan. Kemampuan menikmati lezatnya makanan akan memudar seiring bertambahnya usia. Apakah hal ini menandakan bahwa kebahagiaan akan hilang ketika kenikmatan-kenikmatan fisik satu-satu meninggalkan kita?
Sementara itu, ada orang yang memandang bahwa kehidupan ini hanya berlangsung di dunia dan semuanya akan berakhir dengan datangnya kematian. Jadi, informasi tentang hari pembalasan, surga, dan neraka, bagi mereka hanyalah ilusi. Apapun yang kita lakukan selama hidup tidak akan membawa konsekuensi apa pun setelah ruh terpisah dengan jasad. Kebermaknaan hidup bagi penganut paham ini bisa terjadi selagi mereka mau memaknai. Makna hidup mereka aplikasikan dalam sehari-hari biasanya berkaitan dengan empati dan rasa kemanusiaan. Misal, mereka bahu membahu menolong sesama yang terkena bencana, namun tindakan ini tidak ada kaitan dengan iman.
Lalu, bagaimana seharusnya sikap seorang muslim memandang hidup? Kehidupan bagi seorang muslim merupakan ladang untuk melayani Allah SWT dengan sebaik-baiknya. Meski kita ketahui bahwa ketaatan seorang muslim tidak akan membuat kedudukan Allah SWT lebih mulia atau tidak, yang jelas tidak ada cara lain yang dapat ditempuh untuk mencapai kebermaknaan hidup selain mendedikasikan seluruh hidup untuk ridha Allah SWT. Ketaatan kepada Allah SWT bisa diaplikasikan dalam bentuk pelayanan menolong hamba-hamba-Nya. Karena siapa saja yang beriman kepada Allah kemudian dilanjutkan dengan berbuat baik kepada sesama, pada hakikatnya ia sedang berbuat baik terhadap diri sendiri.
Keyakinan tentang adanya kehidupan setelah kematian, sebagaimana telah diinformasikan dalam Al-Quran, merupakan salah satu pintu seseorang bisa memaknai hidup. Seorang muslim yang meyakini ada kehidupan setelah mati, akan bertindak hati-hati dan berusaha melalui hari-harinya dengan penuh makna, karena ia yakin bahwa apa pun yang diperbuat di dunia ini akan berdampak di kehidupan akhirat. Perbuatan baik dan buruk memberi relasi cukup kuat terhadap konsekuensi surga-neraka. Sungguh konyol, seperti pendapat nihilisme di atas, jika perbuatan baik-buruk yang kita lakukan di dunia tidak ada pembalasan apa pun setelahnya.
Dengan durasi hidup yang amat pendek, hendaknya manusia melakukan hal-hal positif dalam pagelaran hidup ini. Perbuatan yang selalu ditautkan dengan Allah SWT, akan membuat seseorang mengerti akan makna hidup. Wallahu a’lam bishshawab

SUMBER : http://www.yasmin-barbeku.org/profil-mainmenu-28/pengurus-mainmenu-29/beranda-mainmenu-1/439.html?task=view




oleh :Awaliyah Oktaviani

0 komentar: