Sabtu, 09 April 2011

bahasa jurnalistik

2 e) Pemakaianadalah sebagai terjemahanis ataua re (Inggris) tak selamanya

perlu:
- ''Kera adalah binatang pemamah biak''.
(Bisa disingkat ''Kera binatang pemamah biak'').

Catatan: Dalam struktur kalimat lama,adalah ditiadakan, tapi kataitu ditambahkan,
misalnya dalam kalimat: ''Pikiritu pelita hati''. Kita bisa memakainya, meski lebih baik
dihindari. Misalnya kalau kita harus menterjemahkan ''Man is a better driver than
woman'', bisa mengacaukan bila disalin: ''Priaitu pengemudi yang lebih baik dari
wanita''.

2 f) Pembubuhanakan,telah,sedang sebagai penunjuk waktu sebenarnya bisa

dihapuskan, kalau ada keterangan waktu:
- ''Presiden besok akan meninjau pabrik ban Good year''.
(Bisa disingkat: ''Presidenbesok meninjau pabrik.........'').
- ''Tadi telah dikatakan........''
(Bisa disingkat: ''Tadi dikatakan.'').
- ''Kini Claysedang sibuk mempersiapkan diri''.
(Bisa disingkat: ''Kini Clay mempersiapkan diri'').

2 g) Pembubuhanbahwa sering bisa ditiadakan:
- ''Pd. Gubernur Ali Sadikin membantah desas-desus yang mengatakanbahwa ia
akan diganti''.
- ''Tidak diragukan lagibahwa ialah orangnya yang tepat''. (Bisa disingkat: ''Tak
diragukan lagi, ialah orangnya yang tepat''.).

Catatan: Sebagai gantibahwa ditaruhkan koma, atau pembuka (:), bila perlu.
2 h)Yan g, sebagai penghubung kata benda dengan kata sifat, kadang-kadang juga

bisa ditiadakan dalam konteks kalimat tertentu:
- ''Indonesia harus menjadi tetanggayang baikdari Australia''.
(Bisa disingkat: ''Indonesia harus menjadi tetangga baik Australia'').
-''Kamiadalah pewaris yang sahdari kebudayaan dunia''.

2 i) Pembentukan kata benda (ke +..... +an ataupe +........ +an) yang berasal dari
kata kerja atau kata sifat, kadang, kadang, meski tak selamanya, menambah

beban kalimat dengan kata yang sebenarnya tak perlu:
- ''Tanggul kali Citanduy kemarin mengalami kebobolan''.
(Bisa dirumuskan: ''Tanggul kali Citanduy kemarinbobol'').
- ''PN Sandang menderita kerugian Rp 3 juta''.
(Bisa dirumuskan: ''PN Sandangrugi Rp 3 juta'').
- ''Ia telah tiga kali melakukan penipuan terhadap saya''
(Bisa disingkat: ''Ia telah tiga kali menipu saya'').
- Ditandaskannya sekali lagi bahwa DPP kini sedang memikirkan langkah-
langkah untuk mengadakan peremajaan dalam tubuh partai''.

(Bisa dirumuskan: ''Ditandaskannya sekali lagi, DPP sedang memikirkan langkah-
langkah meremajakan tubuh partai'').
2 j) Penggunaandima na, kalau tak hati-hati, juga bisa tak tepat dan boros.Dima na
sebagai kataganti penanya yang berfungsi sebagai kataganti relatif muncul

dalam bahasa Indonesia akibat pengaruh bahasa Barat.
Misalnya:
''Rumahdima na saya diam'', yang berasal dari ''The house where I live in'',
dalam bahasa Indonesia semula sebenarnya cukup berbunyi: ''Rumah yang saya

diami''.
Misal lain: ''Negeridim ana ia dibesarkan'', dalam bahasa Indonesia semula
berbunyi: ''Negeritemp at ia dibesarkan''.
JELAS
Menulis secara jelas membutuhkan dua prasyarat:
1. Si penulis harus memahami betul soal yang mau ditulisnya, bukan juga pura-
pura paham atau belum yakin benar akan pengetahuannya sendiri.
2. Si penulis harus punya kesadaran tentang pembaca.

Memahami betul soal-soal yang mau ditulisnya berarti juga bisa menguasai bahan
penulisan dalam suatu sistematik. Ada orang yang sebetulnya kurang bahan (baik hasil
pengamatan, wawancara, hasil bacaan, buah pemikiran) hingga tulisannya Cuma
mengambang. Ada orang yang terlalu banyak bahan, hingga tak bisa membatasi dirinya:
menulis terlalu panjang.

Terutama dalam penulisan jurnalistik, tulisan kedua macam orang itu tak bisa dipakai.
Sebab penulisan jurnalistik harus disertai informasi faktual atau detail
pengalaman dalam mengamati, berwawancara dan membaca sumber yang akurat. Juga
harus dituangkan dalam waktu dan ruangan yang tersedia. Lebih penting lagi ialah
kesadaran tentang pembaca.

Sebelum kita menulis, kita harus punya bayangan (sedikit-sedikitnya perkiraan) tentang
pembaca kita: sampai berapa tinggi tingkat informasinya? Bisakah tulisan saya ini mereka
pahami? Satu hal yang penting sekali diingat: tulisan kita tak hanya akan dibaca seorang atau
sekelompok pembaca tertentu saja, melainkan oleh suatu publik yang cukup bervariasi dalam
tingkat informasi.

Karena itu buatlah tulisan yang tidak membingungkan orang yang yang belum tahu,
tapi tak membosankan orang yang sudah tahu. Ini bisa dicapai dengan praktek yang
sungguh-sungguh dan terus-menerus. Sebuah tulisan yang jelas juga harus memperhitungkan

syarat-syarat teknis komposisi:
a. tanda baca yang tertib.
b. ejaan yang tidak terlampau menyimpang dari yang lazim dipergunakan

atau ejaan standar.
c. pembagian tulisan secara sistematik dalam alinea-alinea. Karena bukan
tempatnya di sini untuk berbicara mengenai komposisi, cukup kiranya
ditekankan perlunya disiplin berpikir dan menuangkan pikiran dalam

menulis, hingga sistematika tidak kalang-kabut, kalimat-kalimat tidak
melayang ke sana-ke mari, bumbu-bumbu cerita tidak berhamburan
menyimpang dari hal-hal yang perlu dan relevan.

Menuju kejelasan bahasa, ada dua lapisan yang perlu mendapatkan perhatian:
1. unsur kata.
2. unsur kalimat.

1a. Berhemat dengan kata-kata asing. Dewasa ini begitu derasnya arus istilah-istilah asing
dalam pers kita. Misalnya: income per capita, Meet the Press,steam-bath, midnight show,
project officer, two China policy, floating mass, program-oriented, floor-price, City
Hall, upgrading, the best photo of the year, reshuffle, approach, single, seededdan
lainnya. Kata-kata itu sebaiknya diterjemahkan.
1b. Menghindari sejauh mungkin akronim. Akronim mempunyai

manfaat: menyingkat ucapan dan penulisan dengan cara yang mudah diingat.
Dalam bahasa Indonesia, yang kata-katanya jarang bersukukata tunggal dan yang rata-rata
dituliskan dengan banyak huruf, kecenderungan membentuk akronim memang lumrah.
''Hankam'', ''Bappenas'', ''Daswati'', ''Humas'' memang lebih ringkas dari ''Pertahanan &
Keamanan'' ''Badan Perencanaan Pembangunan Nasional'', ''Daerah Swantantra Tingkat'' dan
''Hubungan Masyarakat''. Tapi kiranya akan teramat membingungkan kalau kita seenaknya
saja membikin akronim sendiri dan terlalu sering. Di samping itu, perlu diingat: ada yang
membuat akronim untuk alasan praktis dalam dinas (misalnya yang dilakukan kalangan
ketentaraan), ada yang membuat akronim untuk bergurau, mengejek dan mencoba lucu
(misalnya di kalangan remaja sehari-hari: ''ortu'' untuk ''orangtua''; atau di pojok koran:
''keruk nasi'' untuk ''kerukunan nasional'') tapi ada pula yang membuat akronim untuk
menciptakan efek propaganda dalam permusuhan politik (misalnya ''Manikebu'' untuk
''Manifes Kebudayaan'', ''Nekolim'' untuk ''neo-kolonialisme''. ''Cinkom'' untuk ''Cina

Komunis'', ''ASU'' untuk ''Ali Surachman''). Bahasa jurnalistik, dari sikap objektif,

seharusnya menghindarkan akronim jenis terakhir itu. Juga akronim bahasa pojok sebaiknya dihindarkan dari bahasa pemberitaan, misalnya ''Djagung'' untuk ''Djaksa Agung'', ''Gepeng'' untuk ''Gerakan Penghematan'', ''sas-sus'' untuk ''desas-desus''.

Pendapat praktisi media dan ahli bahasa tersebut tidak bertentangan, justru saling menguatkan. Penerapan prinsip bahasa itu memerlukan latihan secara terus-menerus. Kuncinya, latihan dan latihan.

http://www.scribd.com/doc/20241213/Bahasa-Jurnalistik-OK

postingan : Nicodemus reno anjasmoro X.7

0 komentar: