Sabtu, 02 April 2011

Ibu Pertiwi Tak Lagi Sehat

Dahulu, negri ini, ibu pertiwi kita, Indonesia adalah organ penting dunia. Dengan hutan-hutan yang lebat, tanah yang subur, air dan udara yang bersih, negri ini menyandang sebutan sebagai paru-paru dunia. Itu adalah dulu, sebelum segalanya dirusak dengan tanpa rasa bersalahnya.
Mereka—kami merusak apa yang ada di dalam ibu pertiwi. Dimulai dari hal sesederhana membuang limbah dimana saja sesuka kami, hingga melakukan pembalakan liar bahkan mem-bom laut demi mendapatkan ikan tanpa harus bersusah-payah. Dampaknya? Sama sederhananya seperti saat kita membuang limbah sesuka hati kita, pun, alam dengan sesuka hatinya bereaksi atas apa yang kita perbuat.
Banjir, kebakaran hutan, tanah longsor, pencemaran lingkungan, seamuanya sudah tidak asing lagi saat ini. Beberapa bahkan menganggap hal tersebut sebagai rutinitas per tahunnya. Seperti banjir misalnya, selalu terjadi di ibu kota Negara setiap tahunnya, namun sampai saat ini belum ada penyelesaian masalahnya. Atau tanah longsor yang kerap kali terjadi saat musim hujan terjadi.
Hal di atas hanya masalah-masalah kecil. Belum lagi semakin lama, kita harus merasakan panasnya matahari yang menyengat kala siang hari—global warming. Jangan salahkan alam, karena kita semua tahu bahwa hal itu adalah akibat dari ulah kita yang sembrono.
Salahnya manusia—kita adalah baru menyadari sesuatu yang penting saat segalanya sudah terlambat. Kita bisa menganggap kalimat tersebut sebagai sugesti bahwa kita harus memperbaiki diri dari sifat itu. Atau sebagai hikmah, dalam artian, tentu kita tahu pepatah ‘lebih baik telat daripada tidak sama sekali’. Di saat-saat genting seperti ini justru banyak orang-orang kreatif yang memanfaatkan barang-barang bekas untuk kemudian dijadikan barang yang layak pakai kembali.
Namun tetap saja, hal tersebut tidak langsung memberi dampak besar karena masih banyak juga manusia yang nakal yang masih terus merusak alam—walau ia tahu alam sudah benar-benar rusak. Inilah yang menjadi problem utama dari rusaknya ibu pertiwi kita, yakni; kurangnya kesadaran dalam diri masing-masing.
Bencana datang silih berganti. Awalnya memang bencana yang timbul akibat ulah nakal tangan kita. Tapi, seiring berjalannya waktu alam juga turut berpartisipasi dalam ‘merusak’ ibu pertiwi. Alam marah, karena, mungkin ia merasa diperlakukan dengan tidak sewajarnya. Layaknya kita yang diperlakukan tidak sopan, maka kita pasti akan marah.
Sekarang lihatlah ibu pertiwi, negri tempat kita berpijak yang tanahnya kini tidak sesehat dulu. Airnya yang tidak sejernih dulu. Dan lahan kosong yang selalu dijadikan tempat untuk gedung-gedung pencakar langit. Tidak ada lagi hutan-hutan lebat nan subur yang membuat negri ini menyandang sebagai paru-paru dunia.
Kita generasi muda, dan inilah saatnya bagi kita untuk memperbaiki semuanya. Dari awal, hingga menjadi indah seperti semula.


Verdina Sri Mulia
XI IPA 1 (tugas UTS)

0 komentar: